KONTEKSTUALISASI
MUSIK GEREJAWI: SUATU PERTIMBANGAN TEOLOGIS DAN KULTURAL
Sudah banyak pembahasan menganai masalah-masalah
kontekstualisasi, namun diskusi tentang kontekstualisasi musik gerejawi agaknya
masih langka. Langkanya hal ini tidak berarti bahwa semua gereja bersikap acuh
terhadap usaha-usaha ini. Pembaharuan-pembaharuan kidung pujian seperti “Kidung
Jemaat”, “Nyanyian Kidung Baru” sudah mengarah kepada usaha kontekstualisasi
musik gerejawi, walaupun istilah ini tidak muncul secara eksplisit.
Pemakaian istilah musik gerejawi
disini hendaknya tidak dimengerti sebagai “musik yang bercorak kristiani”
,melainkan merupakan istilah yang dipakai untuk menunjuk pada musik yang
terkait dengan tata ibadah gerejawi. Musik adalah “bunyi atau suara yang
diorganisir”. Jika suara-suara itu tidak diorganisir maka itu merupakan
“teriakan”. Karena musik pada dasarnya terdiri dari suara, maka musik merupakan
bagian yang integral dari manusia dan kehidupan manusia itu sendiri. Dalam
ibadah hal yang dikomunkasikan oleh musik tentunya iman orang yang beribadah
dan penyataan Allah itu sendiri. Ibadah memang merupakan respon manusia
terhadap penyataan diri, kasih dan kehendak Allah. Dalam ibadah inilah
puji-pujian, ucapan syukur diungkapkan dalam wujud nyanyian. Oleh sebab itu
sejak awal musik gerejawi merupakan salah satu sarana yang penting bagi
penyampain hal penyataan Allah dan juga menjadi sarana utama untuk
mengekspresikan iman.
Yang layak dipandang sebagai
musik gerejawi adalah musik seperti yang ada dalam peribadahansekarang ini:
lagunya, iringannya dan bahkan instrument-instrumen yang dipakainya (piano atau
organ). Namun perlu diperhatikan bahwa kenyataan ini tidak berarti bahwa jemaat
yang berbeda budaya tidak mempunyai masalah dalam menyanyikan lagu-lagu yang
bukan merupakan milik mereka yang orisinil. Musik bukan saja ditentukan dan
diwarnai oleh budaya dan lingkungan dimana pemilik musik itu hidup, tetapi ada
gilirannya musik juga akan menentukan corak dirinya bagi pemilik musik
tersebut.
Musik dapat berfungsi sebagai
sarana dimana iman diekspresikan dan juga bahwa musik itu terkait erat dangan
budaya, maka kita mulai dapat melihat bahwa bagaimanapun juga musik itu
kontekstual. Jadi sejalan dengan kesadaran akan perlunya iman yang kontekstual
dan injil yang kontekstual, maka diperlukan pula puji-pujian yang kontekstual.
Usaha kontekstualisasi musik gerejawi ini memang bukan hal yang gampang. Memang
kontekstualisasi musik gerejawi bukan sekedar usaha untuk menghidupkan kembali
budaya yang hilang di gereja. Namun perlu diperhatikan pula bahwa
kontekstualiasi musik gerejawi itu dilakukan dalam upaya mengkontekstualkan
gereja itu sendiri dan juga mengkontekstualkan injil supaya baik injil maupun
gereja tidak menjadi bagian yang asing bagi masyarakat dimana gereja dan injil
itu tumbuh.
Musik terikat erat dengan budaya
lingkungannya, bukan saja erat tetapi juga merupakan wahana dimana rasa sedih
dan sukacita, benci dan kasih diungkapkan. Jadi musik, yang sering hanya
dipandang sebagai hal yang menghibur, sesungguhnya merupakan bahasa dari suatu
masyarakat yang dipakai untuk mengungkapkan persaannya. Oleh sebab itu ikatan
antara musik dengan ibadah sangat kuat sekali. Ikatan yang kuat itu dapat kita
lihat bahwa ibadah dan musik nampaknya tidak pernah absen dalam kehidupan
gereja. Nampaknya musik yang menjadi bagian kehidupan sosial masyarakat Israel
kuno (Kej. 31:27 dan Kel. 37:17-18) kemudian menjadi bagian kehidupan ritual di
Bait Allah. Musik–musik dalam ibadah Israel kuno lebih tepat disebut “tahlil”
(chanting) nampaknya mengalami perubahan gereja berpindah pusat orientasinya
dari dunia Palestina ke dunia Yunani-Romawi. Jadi sebagaimana liturgi senantiasa
mengalami perubahan karena konteksnya, demikian pula musik liturgi pun
mengalami pengkontekstualisasian dari masa ke masa. Pengkontekstualisasian baik
liturgi dan musik liturgy sebenarnya bukan merupakan paksaan dari konteks yang
ada. Hal ini nampaknya terjadi karena akibat logis dari kenyataan bahwa:
1.
Allah
yang senantiasa mengkontekstualkan dirinya
2.
Baik
liturgi dan musik liturgi merupakan bahasa dan wahana dimana Allah dan manusia
berkomunikasi.
Secara singkat kontekstualisasi
musik gerejawi diharapkan, baik secara teologis maupun kultural, menjadi simbol
dimana pertemuan Allah dan manusia terjadi; ia menjadi simbol dimana karya
penyelamatan Allah menjadi satu kenyataan hidup dan pengharapan manusia. Musik
memang bahasa khas, yang mengandung kekhasannya sendiri (slang) yang sulit diterjemahkan
sehingga dapat dimiliki dengan mudah oleh orang yang tidak tumbuh dan
berkembang dengan bahasa itu sendiri. Kontekstualisasi musik liturgi tidak akan
dapat terjadi dengan baik tanpa mengenal secara mendalam akan hal ini jika ia
diharapkan menjadi bahasa yang menjadi wahana dimana budaya dan injil dapat
bersatu.
PENDAPAT
SAYA:
Menurut pandangan saya pada
gereja dimana saya berjemaat, memang benar bahwa kontektualisasi musik gerejawi
terus berkembang sesuai dengan konteks kebudayaan dan masyarakat yang
senantiasa dinamis. Namun dalam prosesnya hal itu juga bisa menjadi kendala,
sementara masalah pokok di sekitar inkulturasi sebagai akibat kehidupan modern
misalnya, adanya sikap kurang menghargai budaya sendiri dan cenderung
mengadopsi kebudayaan dari barat.
0 komentar:
Posting Komentar